Kamis, 03 September 2009

CERPEN “ONAR”

ONAR

Pagi-pagi sekali Anton dan Lela telah pergi ke sekolah karena mereka takut kesiangan. Ada peraturan apabila siswa kesiangan lebih dari 5 menit harus lapor kepada guru piket atau lebih dari itu siswa tidak diperkenakan masuk kelas pada jam pelajaran pertama. Sepanjang jalan mereka tak henti-hentinya menceritakan kehidupan di sekolah.
Lela menyandarkan tangan kirinya kepada bahu Anton. “Ton, teman saya si Jejen kemarin dipanggil oleh Bapak kepala sekolah.”
“Ada apa dia dipanggil, Lel?”
“Itu, dia sudah lama tidak masuk sekolah, dan begitu dia masuk sekolah terus ia mengadakan keonaran, kepada guru sering melawan dan tidak baiklah kepada semua pihak. Entah karena apa begitu bel pulang berbunyi, ia langsung membawa tas. Ia berbuat seperti jeger, kaca jendela sekolah dilemparinya sampai pecah berantakan. Semua teman minggir dan terus lari, takut kena lemparan orang yang sedang gila itu.”
Anton langsung saja tercengang-cengang mendengar perkataan lela. “Wah, ngeri juga, Lela. Mengapa dia sampai nekad begitu. terus bagaimana akhirnya Si Jejen itu, Lel?”
Dengan suara agak sedih Lela menjelaskan pertanyaan Anton itu. “Tidak tahu saya juga mengapa dia sampai berbuat begitu. Menurut kabar angin katanya dia putus dengan pacarnya.”
“Putus dengan pacar, kok dia sampai berani berbuat di luar dugaan seperti itu. Perbuatan seperti itu bukan perbuatan seorang pelajar. Putus satu tumbuh seribu. Putus pacar, lebih giat belajar agar kita kelak menjadi manusia yang berguna, dihormati, dan tentunya banyak orang yang menyenangi kita, seandainya kita berkedudukan tinggi di masyarakat, berkat perjuangan kita semasa di bangku sekolah. Sekarang karena kita masih perlu perjuanagn jangan dahulu memikirkan pacar segala macam. Pikiran saja palajaran, sampai kita memperoleh nilai yang tertinggi.”
Lela menatap wajah Anton dalam-dalam, karena tak disangka teman yang di ajak bicara itu pandai menasihati. “ Aduh, hampir saja saya terlena atas nasihatmu itu, Ton. Tak kukira kamu pandai menasihati. Kagum saya jadinya. Sejak kapan kamu menjadi dewan penasihat itu, Ton?”
Tersenyum malu sambil menunduk dan membetulkan rambutnya yang agak kusut. “Bukan begitu Lel, biasakan kalau kita selaku manusia harus bisa meluruskan orang yang sedang bengkok. Mudah-mudahan orang yang kita nasihati menjadi orang yang baik lagi, sesuai dengan anjuran agama kita ihdinassirotolmustaqim, yang artinya tunjukkilah aku ke dalam jalan yang benar. Ingat kamu penjelasan itu ketika pelajaran Agama oleh Bu Adah, Lel?”
Ketika mereka sedang berdialog itu, tiba-tiba datang teman sekelasnya lagi menghampiri mereka untuk memberitahukan tentang si Jejen teman yang nakal dan bandel itu.
Ade sedang duduk di teras mushola sambil menanti bel masuk berbunyi. “ Hai kawan, sudah tahu masalah si Jejen itu kelanjutannya?”
“Kami justru sedang membicarakan masalah itu. Kami sampai sekarang belum tahu persis tindak lanjutnya, Ade.” ujar Lela.
“Kepala sekolah sudah mengambil kebijaksanaannya, yang patut kita acungkan jempol, kepadanya. Sekarang si Jejen sudah enyah dari hadapan kita semua, dia sekarang menjadi penganggur ulung. Sudah mendapat surat pensiunan muda-muda.”
“Sudah dikeluarkan dia?” Anton merasa kasihan pada si Jejen. “Baik juga, biar dia mengerti anak muda sudah pensiun dari segala perjuangan. Padahal pemuda itu harus giat belajar dan bekerja untuk mengisi kemerdekaan yang kita cintai ini. Percuma negara merdeka juga kalau yang akan mengisi kemerdekaan itu tidak ada. Dahulu pemuda berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka, sekarang bejuang untuk mengisi kemerdekaannya.”
Lela tampak bingung. “ Bagaimana mengisi kemerdekaan itu, Ton? Kami masih pemuda belum ada sumbangan untuk mengisi kemerdekaan itu. Kami masih sekolah, masih menyusahkan orang tua untuk membayar uang SPP. Jadi apa yang harus saya sumbangkan itu, Ton?”
“Cara mengisi kemerdekaan itu bermacam-macam. Misalnya sebagai anak sekolah, kita tentu harus belajar giat, rajin, tekun, patuh kepada seluruh peraturan, memperhatiakan nasihat. Kalau itu sudah dilaksanakan berarti kita telah mengisi kemerdekaan itu. Kita besekolah, maju, pandai, dan tercapai segala cita-cita kita demi masa depan yang cemerlang, itu berarti kita sudah memperlihatkan kepada negara, bahwa karir kita maju dan berkembang sesuai dengan harapan. Sumbangan pikiran atau tenaga demi kemajuan bangsa dan negara, itu pun tandanya kita telah ikut berpartisipasi dalam mengisi kemerdekaan yang kita junjung dan kita dambakan bersama.”
Kemudian Ade mengacungkan jempol. “Oh, begitu cara mengisi kemerdekaan itu. Saya baru tahu sekarang, Ton. Kalau begitu marilah kita mulai dari sekarang giat mengisi kemerdekaan itu dengan rajin belajar, tekun, dan patuh. Jauhkanlah hal-hal yang merugikan kita, dekatkan hal-hal yang menggembirakan dan menyenangkan kita. Bukan begitu kawan?” Mereka beranjak dari duduknya karena bel masuk telah berbunyi.
Guru memasuki ruangan sambil membawa alat-alat perlengkapan yang diperlukan. “Anak-anak! Hari ini kalian belajar kelompok. Buat kelompok-kelompok, maksimal satu kelompok 5 orang.”
Anak-anak sibuk membagi kelompok, dan mengatur tempatnya masing-masing. Anton sebagai ketua kelompok memberi arahan kepada anggotanya. “Ingat kawan! Usahakan kelompok kita yang paling baik, perlihatkan kepada kawan-kawan bahwa kelompok kita harus menjadi contoh sehingga orang lain atau kelompok lain ingin meniru kita dari segala bidang, baik dalam hal belajar, tata karma, kelincahan dalam mengerjakan segala tugas, berpakaian yang sopan, tidak perlu bagus, tetapi yang penting bersih dan rapih, ataupun dalam hal-hal lain yang dapat membawa nama harum sekolah kita.”
Guru memeriksa hasil kerja anak-anak dengan teliti dan cermat. “Menurut hasil yang telah saya periksa, ternyata yang paling baik dan kompak anggota kelompoknya, adalah kelompok Anton dan kawan-kawan,” Anak-anak gemuruh bersorak dan memberi selamat kepada kelompok Anton itu.
Bel berbunyi tanda istirahat dimulai. Anak-anak beranjak dari bangku kelas menuju suatu tempat untuk bercakap-cakap tentang apa yang telah mereka peroleh dari bangku kelasnya masing-masing. Ade mempersilahkan kepada kawan-kawan untuk duduk diteras mushola yang cerah dan nyaman. “Kawan, salutlah kami kepada karir yang dicapai Anton itu. Begitu seharusnya kalau menjadi siswa, harus bisa membuat kejutan kepada semua pihak dan semua pihak akan menyenanginya selalu.”
Ketika siswa sedang beristirahat untuk melepaskan segala keruwetan dan ketegangan pikiran, tiba-tiba datanglah sekelompok siswa dari sekolah lain yang diketuai Bambang. “Maaf kawan! saya ingin bertemu dengan saudara Riki. Sekolahkah dia?”
Ilham mencari-cari Riki ke mana-mana tetapi tak sempat ketemu. Entah kemana dia beristirahat. “Maaf, saudara Riki tidak ada. Entah kemana dia beristirahat.”
Mendengar Riki tidak ada, akhirnya dia pergi lagi bersama kelompoknya meninggalkan sekolah itu. Ketika Ilham akan ke belakang bertemu dengan Riki. “Wah, Rik! Ke mana saja kamu dari tadi tidak ada? Tadi saya mencarimu, tapi tak kunjung jumpa.”
Riki kesal dan muak. “Ada apa kamu mencari saya? Memangnya saya ini pencuri yang sedang dikejar-kejar polisi.”
Ilham menghampiri dan mengusap tangan Riki sambil bicara baik-baik. “Bukan begitu, Rik. Tadi ada orang yang mencari kamu, entah mau apa aku pun tak tahu sama sekali.”
Mendengar berita itu akhirnya dia mengerti dan terbayang dibenaknya, kejadian tiga hari yang lalu. “Bagaimana perwatakannya dan ciri-cirinya, Ham?”
“Baiklah akan saya paparkan ciri-ciri orang tersebut. Dia berbadan gemuk agak bungkuk, berambut gondrong dan lurus seprti injuk, serta pakaiannya sudah kumal.
Riki termenung sejenak sambil telunjuknya diarahkan kepalanya sebagai tanda mengingat. “Oh, ya saya baru ingat sekarang. Pasti orang itu si Bambang, anak yang bandel, nakal dan malas lagi.”
Ilham menatap wajah Riki sambil mukanya agak keheranan. “Bagaiman kamu tahu benar watak orang itu, Rik?”
Riki mempersilahkan Ilham untuk duduk bersampingan dengannya. “Mari kita duduk berdekatan agar percakapan kita lebih menarik. Begini ceritanya. Ketika saya pulang sekolah di tengah jalan saya ketemu dengan si Jejen yang dikeluarkan tempo dulu. Dia memanggil saya untuk membicarakan nasibnya. Ketika kami sedang asyik bercerita, tiba-tiba datanglah anak berkendaraan sepeda motornya itu tidak semestinya dan tidak sopan lagi, dia mengendarai sepeda motornya itu bolak-balik sambil diserempet-rempetkan ke hadapan kami. ulah anak itu membikin jengkel si Jejen, yang akhirnya anak itu dipukulnya keras-keras dengan kayu yang ia pegang. Anak itu naik pitam, berkelahi tak berani karena dia sendirian. Akhirnya saya kena getahnya, identitas saya dicatatnya, dan langsung ia lari membawa sepeda motornya dengan kecepatan yang sangat tinggi. Melihat kelakuan anak itu saya menjadi bengong, tak bicara dalam beberapa menit. Saya membayangkan bagaimana nasib saya kelak, takut saya dikeroyok bersama-sama temannya. Ketika saya sedang memikirkan itu, si Jejen berkata, jangan takut Riki, saya akan menghadapi dia nanti. Jadi laki-laki jangan penakut, hadapilah dengan kejantanan. Takut masalah itu berkelanjuatan, akhirnya saya permisi saja kepada si Jejen untuk segera pulang dan segera menenangkan pikiran yang sedang penuh emosi dan ketakutan itu. Bayangan saya itu, ternyata sekarang terbukti. Bukan si Jejen yang ia cari tetapi saya. Ia bersama temannya datang menyusul saya kemari untuk membuat keonaran disekolah saya.”
Ilham menggelengkan kepala berkali-kali, tak mengira sedikitpun. “Tak kusangka seujung rambut pun, Rik. Untung sekali kamu tidak ketemu waktu saya cari. Kalau ketemu bagaimana jadinya? Dia membawa temannya sebanyak itu.”
“Tak perlu khawatir. Tuhan Maha Mengetahui, siapa yang salah dan siapa yang benar. Yang benar pasti dilindungi. Buktinya saya dilindungi-Nya. Makanya Kita selaku manusia harus taat kepada perintah-Nya dan menjauhkan dari segala larangan-Nya. Dimana saja kita berada kalau melaksanakan semua itu dengan baik, ditempat penjahat sekalipun pasti kita akan terhindar dari malapetaka dan siksaan. Kamu bisa mengetahui pula Ham, saya akan kena malapetaka dan keonaran yang besar, toh saya diselamatkan juga oleh Tuhan, karena saya berada dalam jalan yang benar, berada dijalan yang diridoi Tuhan. Orang yang gila itu akhirnya pergi. Selamatlah saya dari rongrongan orang yang tak tahu malu itu.
Ilham menyodorkan tangan sebagai tanda berterima kasih kepada Riki. “Saya salut atas kejujuran dan keterusterangan kamu Rik.”
Tiba-tiba Anton menghampiri Riki dan Ilham yang sedang berangkulan itu sambil menepuk kedua orang itu. “Dari tadi saya menyimak seluruh obrolanmu itu tadi. Saya acungkan jempol untukmu Rik. Kejujuran dan keikhlasan hatimu menceritakan segala kejadian yang telah kamu alami itu. Begitu seharusnya jiwa seorang pemuda harapan bangsa, yang harus bisa memberi contoh dan keteladanan kepada kawan-kawan, agar kawan-kawanmu menjadi manusia yang sempurna, patriot dan berwibawa, untuk membawa bangsa dan negara ke pintu yang mulia dan sejahtera. Seandainya kamu tidak menceritakan hal itu berabe juga bagi semua pihak. Permasalahannya sudah terbuka, dengan sendirinya masalah akan terselesaikan secepatnya. Kita dan sekolah akan terhindar dari keonaran, karena masalah telah diketahui dan telah ditangani oleh yang berwajib.”
Riki, Ilham dan Anton bersalaman sebagai tanda bersyukur keonaran tidak terjadi. Mereka bersorak gembira, karena bel telah berbunyi, sebagai tanda pelajaran akan dilanjutkan kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar